Jumat, 07 Januari 2011

ANTIHISTAMIN

Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. Efek histamin adalah pada organ sasaran, direk atau indirek terhadap aktivasi berbagai sel inflamasi dan sel efektor yang berperan pada penyakit alergi. Histamin berinteraksi dengan reseptor spesifik pada berbagai jaringan target. Reseptor histamin ditemukan pada sel basofil, sel mast, neutrofil, eosinofil, limfosit, makrofag, sel epitel dan endotel. Reseptor histamin dibagi menjadi histamin 1 (H1), histamin 2 (H2) dan histamin 3 (H3).

Sewaktu diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses faalan dan patologik, maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamin. Sejak penemuan antihistamin pada awal tahun 1940, antihistamin sangat terkenal diantara pasien dan dokter. Antara tahun 1940-1972, beratus-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi, tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin digolongkan menjadi anti histamin penghambat reseptor H1 (AH1), penghambat reseptor H2 (AH2), penghambat reseptor H3 (AH3). Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan kronik maupun rekuren. Dengan demikian dermatologist harus teliti dalam pemakaian antihistamin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok antihistamin yang berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik.

Di dalam semua organ dan jaringan tubuh terdapat histamin, suatu persenyawaan amino, yang merupakan hasil biasa dari pertukaran zat. Histamin ini dibentuk di dalam usus oleh bakteri-bakteri atau didalam jaringan-jaringan oleh enzim histidin-dekrboksilase, bertolak dari histidin (suatu asam amino) dengan mengeluarkan karbondioksidanya (proses dekarboksilasi) menjadi histamin. Juga sinar matahari, khususnya sinar ultra violet, dapat mengakibatkan terbentuknya histamin. Hal ini merupakan sebab dari kepekaan seseorang terhadap cahaya matahari. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan asma (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selapit lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.

Sifat-sifat dan mekanisme kerja antihistaminika

Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive inhibition”. Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut.

Penggunaan

Pada pengobatan dari berbagai gangguan alergi dan anafilaksi, antihistaminika dapat menghilangkan sebagian besar dari gejala-gejala tanpa melenyapkan sebab-sebab utamanya. Meskipun kerjanya tidak begitu lengkap dan cepat seperti adrenalin atau aminofilin, namun obat-obat antihistaminik kini banyak digunakan untuk mengobati keadaan-keadaan alergi. Misalnya pada keadaan gatal-gatal (“kaligata”), urticaria karena makanan (udang) atau obat-obat tertentu (asetosal, penisilin), dan penyakit serum (“serum sickness”) setelah suntikan dengan suatu serum asing. Juga untuk mencegah atau mengurangi reaksi-reaksi alergi, seringkali diberikan antihistaminika satu jam sebelum dilakukan penyuntikan dengan suatu antigen spesifik (misalnya serum, penisilin). Untuk mengobati penyakit asma (bronchiale), antihistaminika tidak begitu berkhasiat, karena hanya dapat meringankan saja gejala-gejalanya. Penggunaan lainnya adalah sebagai obat anti emetik yang dapat melawan rasa mual dan muntah-muntah pada mabuk perjalanan (“motion sickness”) dan selama hamil (“morning-sickness”, hyperemesis gravidarum). Untuk maksud ini biasanya digunakan garam klorotheofilinatnya, misalnya difenhidramin dan promethazin klorotheofilinat, yang lebih berkhasiat daripada persenyawaan-persenyawaan induknya.

Disamping peranannya dalam persaingan substrat dengan histamin, antihistaminika juga memiliki khasiat antikolinergik lemah dan kegiatan vasokonstriksi. Berdasarkan hal ini antihistaminika seringkali digunakan untuk meringankan gejala “common cold” misalnya selesma, dengan atau tanpa dikombinasi dengan analgetika. Begitupula banyak sirop batuk mengandung obat-obat ini, guna mengurangi rasa gatal di tenggorokan. Antihistaminika juga berkhasiat terhadap vertigo (pusing-pusing) dengan jalan menekan kegiatan reseptor-reseptor saraf vestibuler di bagian dalam telinga dan merintangi kegiatan kolinergik sentral. Dalam hal ini antihistaminika yang sering digunakan adalah sinarizin, siklizin, dimenhidrinat, meklozin dan promethazin.

Antihistaminika dapat diberikan secara oral atau parenteral dengan resorpsi yang baik. Pada pemberian oral, efek mulai tampak setelah 15 – 30 menit, sedangkan pada umumnya lama kerjanya hanya lebih kurang 4 jam, terkecuali promethazin, meklizin dan buklizin, yang memiliki kerja panjang (lebih kurang 16 jam). Khasiat dan terutama dosisnya, juga toleransi untuk obat-obat ini adalah sangat individual; suatu antihistaminika yang manjur untuk mengobati A dengan dosis kecil, mungkin sama sekali tidak ada efeknya untuk mengobati penyakit yang sama pada B.

Efek – sampingan

Karena antihistaminika juga memiliki khasiat menekan pada susunan saraf pusat, maka efek sampingannya yang terpenting adalah sifat menenangkan dan menidurkannya. Sifat sedatif ini adalah paling kuat pada difenhidramin dan promethazin, dan sangat ringan pada pirilamin dan klorfeniramin. Kadang-kadang terdapat stimulasi dari pusat, misalnya pada fenindamin. Guna melawan sifat-sifat ini yang seringkali tidak diinginkan pemberian antihistaminika dapat disertai suatu obat perangsang pusat, sebagai amfetamin. Kombinasi dengan obat-obat pereda dan narkotika sebaiknya dihindarkan. Efek sampingan lainnya adalah agak ringan dan merupakan efek daripada khasiat parasimpatolitiknya yang lemah, yaitu perasaan kering di mulut dan tenggorokan, gangguan-gangguan pada saluran lambung usus, misalnya mual, sembelit dan diarrea. Pemberian antihistaminika pada waktu makan dapat mengurangi efek sampingan ini.

Perintang-perintang reseptor-reseptor – H2

Antihistaminika yang dibicarakan diatas ternyata tidak dapat melawan seluruh efek histamin, misalnya penciutan otot-otot licin dari bronchia dan usus serta dilatasi pembuluh-pembuluh perifer dirintangi olehnya, dimana efeknya berlangsung melalui jenis reseptor tertentu yang terdapat dipermukaan sel-sel efektor dari organ-organ bersangkutan yang disebut reseptor-resep[tor H1. Sedangkan efek terhadap stimulasi dari produksi asam lambung berlangsung melalui reseptor-reseptor lain, yaitu reseptor-reseptor H2 yang terdapat dalam mukosa lambung.
Penelitian-penelitian akan zat-zat yang dapat melawan efek histamin H2 tersebut telah menghasilkan penemuan suatu kelompok zat-zat baru yaitu antihistaminika reseptor-reseptor H2 atau disingkat H2- blockers seperti burimamida, metiamida dan simetidin. Zat-zat ini merupakan antagonis-antagonis persaingan dari histamin, yang memiliki afinitas besar terhadap reseptor-reseptor H2 tanpa sendirinya memiliki khasiat histamin. Dengan menduduki reseptor-reseptor tersebut, maka efek histamin dirintangi dan sekresi asam lambung dikurangi.
Dari ketiga obat baru tersebut hanya imetidin digunakan dalam praktek pada pengobatan borok-borok lambung dan usus. Obat-obat lambung burimamida kurang kuat khasiatnya dan resorpsinya dari usus buruk sedangkan metiamida diserap baik, tetapi toksis bagi darah (agranulocytosis).


Penggolongan

Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :

A. Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.

B. Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.

C. Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin. Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.

D. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.

1. Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)

Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.

Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mg

· Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros). Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu hamil.

Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100 mg, i.m. 50 mg.

· Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)

Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat.

Dosis : oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.

2. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)

Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.

3. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)

Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy

Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg

4. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)

Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya

Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg

5. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)

Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan. Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.

6. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)

Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui. Selain itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan vasodilator-vasodilator lainnya.

Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg

* primatour (ACF) adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat, yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama. Dosis : dewasa 1 tablet.

7. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)

Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.

Dosis : 10 – 40 mg seharinya

8. Thiazinamium : Multergan (Specia)

Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat antikolinergik yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang berlebihan.

9. Siproheptadin : Periactin (Specia)

Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal.

Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering. Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.

10. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)

Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak memiliki sifat-sifat menidurkan. Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya

Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.

Tabel 1. Penggolongan Antihistamin H1 (AH1)

Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama

1.

Azatadine

2.

Azelastine

3.

Brompheniramine

4.

Chlorpheniramine

5.

Clemastine

6.

Cyproheptadine

7.

Dexchlorpheniramine

8.

Hydroxyzine

9.

Promethazine

10.

Tripelennamine

Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua

11.

Cetirizine

12.

Loratadine

Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga

13.

Fexofenadine

14.

Desloratadine

Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.

Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit (desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.

Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamin H1 ini bisa mengurangi permeabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.

Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan anti alergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast atau membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.

Antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.4

Daftar pustaka

Anonim. 2008. Antihistamin

http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-histamin/

diakses pada tanggal 12 september 2010

Arif, Eka dkk.2008. Metabolit Aktif Antihistamin H1 (Ceterizine).

http://yosefw.wordpress.com/2008/03/26/metabolit-aktif-antihistamin-h1-ceterizine/

Diakses pada tanggal 24 Agustus 2010.

Tidak ada komentar: