Jumat, 13 April 2012

ANTIBIOTIKA

Antibiotik (L. Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia relatif kecil. Turunan zat-zat ini dibuat secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa dengan khasiat antibakteri.

Mekanisme kerja yang terpenting adalah perintangan sintesis protein, sehingga kuman musnah atau tidak berkembang lagi, misalnya kloramfenikol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin. Selain itu beberapa antibiotika bekerja terhadap dinding sel (penisilin dan sefalosporin) atau membran sel (polimiksin, zat-zat polien dan imidazol). Kemoterapi antimikroba dapat digolongkan atas dasar mekanisme kerjanya dalam zat-zat bakterisid dan bakteriostatis sebagai berikut :

a. Zat-zat bakterisid (L. Caedere = mematikan), yang pada dosis biasa berkhasiat mematikan kuman. Obat-obatan ini dapat dibagi pula dalam dua kelompok yakni : yang bekerja :

· Terhadap fase tumbuh misalnya penisilin dan sefalosporin, polipeptida (polimiksin, basitrasin) rifampisin, asam nalidiksat dan kuinolon-kuinolon. Zat-zat ini kurang efektif dalam fase istirahat.

· Terhadap fase istirahat misalnya aminoglikosida, nitrofurantoin, INH, kotrimoksazol dan juga polipeptida tersebut di atas.

b. Zat-zat bakteriostatis (L. Statis = menghentikan), yang pada dosis biasa terutama berkhasiat menghentikan pertumbuhan dan perbanyakan kuman. Pemusnahannya harus dilakukan oleh sistem-tangkis tubuh sendiri dengan jalan fagositosis (‘dimakan’ oleh limfosit). Contohnya sulfonamida, kloramfenikol, tetrasiklin, makrolida dan linkomisin, PAS serta asam fusidat.

Penggunaan antibiotik ini untuk mengobati barbagai jenis infeksi akibat kuman atau juga untuk prevensi infeksi, misalnya pada pembedahan besar. Secara profilaksis juga diberikan pada pasien dengan sendi dan klep jantung buatan, juga sebelum cabut gigi. Penggunaan penting non-terapeutis adalah sebagai perangsang pertumbuhan dalam pertenakan sapi, babi dan ayam. Efek secara kebetulan ditemukan sekitar tahun 1940, tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan bahwa antibiotika bekerja setempat dalam usus dengan menstabilisisr floranya hewan tersebut. Kuman-kuman ‘buruk’ yang merugikan dikurangai jumlah dan aktivitasnya, sehingga zat-zat gizi dapat dipergunakan lebih baik. Pertumbuhan dapat distimulasi dengan rata-rata 10%. Meskipun dikebanyakan negara barat penyalahgunaan ini dilarang keras, namun masih tetap banyak digunakan dalam makanan ternak, terutama makrolida dan glikopeptida. Jumlahnya kini sudah meningkat sampai lebih dari 3 kali penggunaannya sebagai obat manusia.

Ada 6 kelompok antibiotik, yaitu Penisilin dan sefalosporin, kelompok tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkosin, polipeptida serta kelompok sisa (polyen, rifamfisin dan lain-lain).

A. PENISILIN

Antibiotika ini dibagi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok penisilin dan sefalosporin.

Penisilin diperoleh dari jamur penicillium chrysogenum; dari berbagai jenis yang dihasilkan, perbedaannya hanya terletak pada gugusan-samping-R saja, benzilpenisilin (pen-G) paling efektif. Sefalosporin diperoleh dari jamur chepalorium acremonium yang berasal dari sicilia (1943).

Kedua kelompok antibiotik tersebut memiliki rumus bangun serupa, keduanya memiliki cincin beta-laktam. Cincin ini merupakan syarat mutlak untuk khasiatnya. Jika cincin ini dibuka misalnya enzim beta-laktamase (penisilinase atau sefalosporinase), maka menjadi inaktif. Pada umunya penisilinase hanya dapat menginaktifkan penisilin dan tidak sefalosporin, kebalikannya berlaku untuk sefalosporinase.

Mekanisme kerja dinding sel kuman terdiri dari suatu jaringan peptidoglikan, yaitu polimer dari senyawa amino dan gula yang saling terikat satu amino dan gula yang saling terikat satu dengan yang lain (crosslinked) dan dengan demikian memberikan kekuatan mekanis pada dinding. Penisilin dan sefalosporin menghalangi sintesa lengkap dari polimer ini yang spesifik bagi kuman dan disebut murein. Bila sel tumbuh dan plasmanya bertambah atau menyerap air dengan jalan osmosis, maka dinding sel yang tak sempurna itu akan musnah dan bakteri musnah. Dinding sel manusia dan hewan tidak terdiri dari murien, maka antibiotik ini tidak toksik untuk manusia.

Efek samping yang terpenting adalah reaksi alergi akibat hipersensitasi, yang (jarang sekali) dapat menimbulkan shock anafilaktis (dan kematian). Pada prokain-benzilpenisilin diduga prokain memegang peranan pada hipersensitasi tersebut. Pada penisilin broad-spectrum agak sering terjadi gangguan-gangguan lambung-usus (diare, mual, muntah). Diare dapat dicegah dengan pemberian probiotik (Lactobacillus, bifidobacterium) selama masa terapi, pada dosis (amat) tinggi dapat terjadi reaksi-reaksi nefrotoksis dan neurotoksis, seperti pada aminoglikosida. Untuk wanita hamil dan laktasi semua penisilin dianggap aman bagi wanita hamil dan yang menyusui, walaupun dalam jumlah kecil terdapat dalam darah janin dan air susu ibu.

Contoh-contoh obat dari golongan penisilin ini adalah Benzilpenisilin (penisilin-G), Fenoksimetilpenisilin (penisilin-V, fenocin, Acipen-V, Ospen), kloaksasilin (Meixam, Orbenin), Asam klavulonat (Augmentin, Timentin), Ampisilin (penbritin, Ultrapen, binotal), Amoksisilin (Amoxilin, Flemoxin, Hiconcil, Augmenten), Piperasilin (Ledercil, Tazocin).

B. SEFALOSPORIN

Sefalosporin termasuk antibiotik beta laktam dengan struktur, khasiat dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan keuntungan-keuntungan sebagai berikut :

- Spektrum antibakterinya lebih luas tetapi tidak mencakup enterokoki dan kuman-kuman anaerob.

- Resisten terhadap penisilin asal stafilokoki, tetapi tidak efektif terhadap stafilokoki yang resisten terhadap penisilin (MRSA).

Penggolongan safalosforin berdasarkan khasiat antimikroba dan resistennya terhadap beta laktam, sfalosforin lazimnya digolongkan sebagai berikut :

1. Generasi ke-1. Sefalotin dan sefalozin, sefradin, sefaleksin dan sefadroksil. Zat-zat ini aktif terhadap cocci dan gram positif, tidak berdaya gonococci, H.influenzae, bacteriodes dan psedomonas. Pada umumnya tidak tahan terhadap laktamase.

2. Generasi ke-2. Sefaklor, sefamandol, sefmetazolo dan sefuroksin lebih aktif terhadap kuman gram negatif, termasuk H.influenzae, proteus, kjlebsiella, gonococci dan kuman-kuman resisten untuk amoksilin. Obat-obat ini agak kuat tahan-laktamase. Khasiatnya terhadap kuman gram positif (staphilococus dan streptococus) lebih kurang sama.

3. Generasi ke-3. Sefoferazon, sefotaksin (claforan), sefitokzim (cefizox), seftriakson (Rocephin), sefotiam (Cefadrol), sefiksim (Sofix), sefodoksim (Banan) dan sefrozil (Cefzil). Aktivitasnya terhadap kuman gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi dan meliputi psedomonas dan bacteriodes, khususnya sefatzidin. Resistennya terhadap laktamase juga lebih kuat, tetapi khasiatnya terhadap stafilokokus jauh lebih rendah. Tidak aktif terhadap MRSA dan MRSE.

4. Generasi ke-4. Sefepim dan sefiron. Obat-obat baru ini (1993) sangat resisten terhadap laktamase; sefepim juga aktif sekali terhadap psedomonas.

Penggunaanya sebagian besar dari sefalosforin perlu diberikan parenteral dan terutama digunakan pada rumah sakit. Obat-obat generasi pertama sering digunakan per oral pada infeksi saluran kemih ringan dan sebagai obat pilihan kedua pada infeksi saluran napas. Obat-obat generasi kedua dan ketiga digunakan parenteral pada infeksi serius yang resisten terhadap amoksilin dan sefalosforin. Sedangkan obat-obat generasi keempat sering digunakan bila dibutuhkan efektivitas lebih besar dan infeksi dengan kuman gram positif.

Efek samping golongan ini pada umumnya sama dengan kelompok penisilin, tetapi lebih jarang dan lebih ringan. Obat oral dapat menimbulkan terutama gangguan lambung-usus, jarang sekali juga reaksi alergi.

Resisten dapat timbul dengan cepat, maka antibiotik ini jangan digunakan sembarangan dan dicadangkan untuk infeksi berat. Resistensi silang dengan penisilin pun dapat terjadi. Pada ibu yang sedang hamil dan menyusui lebih baik jangan memakai obat antibiotik golongan ini karena sefalosforin dapat dengan mudah melintasi plasenta, tetapi kadarnya dalam janin rendah daripada dalam darah ibunya. Dengan memungkinkan bila memakai obat antibiotik golongan ini bisa digunakan sefalotin dan sefaleksin karena telah digunakan selama kehamilan dan tidak dilaporkan efek buruk pada bayi. Kebanyakan sefalosforin dapat mencapai air susu ibu. Dari sefaklor, sefotaksim, seftriakson dan seftazidin hanya dalam jumlah kecil, yang dianggap aman bagi bayi.

C. AMINOGLIKOSIDA

Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi streptomyces dan micromonospora. Semua senyawa dan turunan semi-sintesisnya mengandung dua atau tiga gula-amino di dalam molekulnya yang terikat secara glukosidis. Dengan adanya gugus amino, zat-zat ini bersifat basa lemah dan garam sulfatnya yang digunakan dalam terapi mudah larut dalam air.

Penggolongan antibiotik ini, aminoglikosida dapat dibagi atas dasar rumus kimianya, sebagai berikut.

- Streptomisin yang mengandung satu molekul gula-amino dalam molekulnya.

- Kanamisin dengan turunannya dibekasin, gentamisin, dan turunannya netilmisin dan tobramisin, yang semuanya memiliki dua molekul gula yang dihubungkan oleh sikloheksan.

- Neomisin, framesitin dan paranomisin dengan tiga gula-amino.

Spektrum kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli gram negatif, a.l. E.Coli, H. Influenzae, Klebsiella, Proteus, Enteronacter, Salmonella dan shigella. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah kuman gram positif (antara lain stapilococus aureus/epidermis). Streptomisin, kanamisin dan amikasin aktif terhadap kuman tahan asam Mycobacterium (tbc dan lepra).

Aktivitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam sel. Proses transasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesa proteinya dikacaukan.

Penggunaan obat ini lebih sering digunakan pada pemakaian topikal. Misal gentamisin, tobramisin dan neomisin.

Efek samping antibiotik ini berlawanan dengan atibiotika lainnya seperti antibiotik betalaktam. Setelah dihentikan penggunaannya dan kadar darahnya menurun sampai di bawah MIC-nya, masih mempertahankan efek antibiotisnya. Semakin besar dosis yang digunakan semakin besar pula “efek sisa” ini. Perlu juga pengontrolan terhadap pemberian antibiotik golongan ini pada lansia karena dapat mengakibatkan kerusakan pada organ pendengaran dan keseimbangan yang terjadi pada kerusakan otak kedelapan. Antibiotik ini juga dapat melintasi placenta dan merusak ginjal serta menimbulkan ketulian pada bayi. Maka tidak dianjurkan selama kehamilan. Obat-obat ini mencapai air susu ibu dalam jumlah kecil dan hakekatnya dapat diberikan selama laktasi.

D. TETRASIKLIN

Senyawa tetrasiklin semula (1948) diperoleh dari streptomyces aureofaciens (klortetrasiklin) dan streptomyces rimosus (oksitetrasiklin). Setelah tahun 1960 zat induk tetrasiklin mulai dibuat seluruhnya secara sintesis, yang kemudian disusul oleh derivat-oksi dan -klor serta senya long-acting doksisilin dan minoksiklin. Khasiatnya bakteriostatis, hnya memalui injeksi intravena dapat dicapai kadar plasma yang bakterisid lemah. Mekanisme kerjanya berdasarkan diganggunya sintesa protein kuman. Spektrum antibakterinya luas dan meliputi banyak cocci gram positif dan gram negatif serta kebanyakan basilli. Tidak efektif terhadap psedomonas dan proteus, tetapi aktif terhadap mikroba khusus seperti chlamydia tyrachomatis (penyebab penyakit mata tracoma dan penyakit kelamin), Rickettsiae (scrubtyphus), spirokheta (sifilis, framboesia), leptospirae (penyakit weil), actinomyces dan beberapa protozoa (amuba).

Penggunaan tetrasiklin sudah lama sekali yang merupakan obat terpilih untuk banyak infeksi akibat bermacam-macam kuman, terutama infeksi campuran. Akan tetapi perkembangan resistensi dan efek sampinganya pada penggunaan selama kehamilan dan anak kecil, maka dewasa ini hanya dicadangkan untuk infeksi tertentu dan bila terdapat intoleransi bagi antibiotika pilihan pertama. Antara lain digunakan pada infeksi saluran napas dan paru-paru, saluran kemih, kulit dan mata.

Efek samping antibiotik ini pada umumnya merupakan obat yang aman, walaupun dapat memperburuk kondisi gagal ginjal yang sudah ada. Dalam hal ini doksisilin lebih aman daripada senyawa-senyawa lain dalam kelompoknya. Sering sekali efek samping seperti gangguan lembung-usus. Efek samping yang lebih serius yang disebabkan kan oleh antibiotik golongan ini adalah sifat penyerapannya pada jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh pada janin dan anak-anak. Efek samping lain seperti kulit menjadi peka terhadap cahaya, menjadi kemerah-merahan dan gatal-gatal.

Resistensi semakin sering terjadi melalui R-plasmid (ekstrakromosomal). Banyak stafilococus dan streptococus sudah menjadi resisten, begitu pula kebanyakan kuman gram negatif (psedomonas, proteus, klebsillia, enterobacter, serratia). Antara masing-masing derivat tetrasiklin terdapat resistensi silang, kecuali minosiklin terhadap stapyloccus aureus.

E. MAKROLIDA DAN LINKOMISIN

Kelompok antibiotik ini terdiri dari eritromisin (EM) dengan derivatnya klaritomicin (KM), roksitromisin (RM), azitromicin (AM), dan diritromisin (DM).

Aktivitas eritromisin bekerja bakteriostatis terhadap kuman gram positif dan spektrum kerjanya mirim dengan penisilin-G, makanya dapat digunakan oleh penderita alergis terhadap penisilin. Mekanisme kerjanya sama dengan tetrasiklin, yakni melalui pengikatan reversibel pada ribosom kuman, sehingga sintesa proteinnya dirintangi. Bila digunakan terlalu lama atau sering dapat terjadi resistensi.

Penggunaan eritromisin merupakan pilihan utama pada khususnya infeksi paru-paru dengan legionella pneumophilia (penyakit veleran) dan mycoplasma pneumoniae (radang paru). Pada infeksi lain saluran napas dijadikan pilihan kedua untuk pemakaina obat ini.

Efek samping yang terpenting bagi lambung-usus, nyeri perut, nausea dan kadang-kadang muntah, yang terutama nampak pada EM akibat pengurainnya oleh asam lambung. Lebih jarang nyeri kepala dan reaksi kulit. EM pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian reversibel, mungkin akibat pengaruhnya terhadap SSS. Semua makrolida dapat mengganggu funsi hati, yang tampak sebagai peningkatan nilai0nilai enzim tertentu dalam serum. Juga nyeri kepala dan pusing dapat terjadi. EM dan RM dapat mengakibatkan raksi alergi.

Interaksi obat-obat lain terhadap antibiotik ini yaitu teofilin, karbamazepin, kumarin, rifampisin, astemizol, terfinaden dan sikloporin karena eritromisin memperlihatkan penghambatan enzimatis dari metabolisme.

Kehamilan dan laktasi, eritromisin dapat diberikan dengan aman, sedangkan derivatnya belum ada kepastian. Ada kemungkinan RM dapat diminum selama menyusui. KM ternyata mengganggu perkembangan janin binatang percobaan, maka sebaiknya jangan digunakan pada trimester pertama kehamilan.

F. POLIPEPTIDA

Kelompok ini terdiri dari polimiksin B, polomiksin E (=kolistin), basitrasin dan gramisin, yang bercirikan struktur polipeptida siklis dengan gugus amino bebas. Berlainan dengan antibioyik lainnya ayng diperoleh oleh jamur, obat-obat ini dihasilkan oleh bakteri. Polimiksin hanya aktif terhadap gram negatif termasuk psedomonas, sedangkan basitrasin dan gramisidin terutama aktif terhadap kuman gram postitif.

Khasiat bakterisidnya berdasarkan aktivitas permukaan dan kemampuannya untuk melekatkan diri pada membran sel bakteri, sehngga permeabilitas sel meningkat dan akhirnya sel meletus. Kerjanya tidak tergantung dari keadaan membelah tidaknya kuman, maka dapat dikombinasi dengan antibiotik bakteriostatis, seperti kloramfenikol dan tetrasiklin.

Pnggunaan antibiotik ini sangat toksis bagi ginjal, polimiksin juga bagi orga pendengaran. Oleh karena ini penggunaan parenteralnya pada infeksi psedomonas kini sudah ditinggalkan dengan adanya antibiotika lain yang lebih aman, seperti gentamisin dan sefalosforin.

G. ANTIBIOTIKA LAINNYA

1. Kloramfenikol

Semula diperoleh dari jenis strepromyces (1947), tetapi kemudian dibuat secara sintetis. Kloramfenikol bekrerja secara bakteriostatis terhadap hampir semua gram positf dan gram negatif. Bekerja sebagai bakterisid terhadap Str. Pneumoniae, Neeis. Meningitis dan H. Influenzae. Mekanisme kejanya berdasarkan perintangan sintesa polipeptida kuman. Terhadap kebanyakan suku psedomonas, proteus dan enterobacter, kloramfenikol tidak aktif.

Penggunaannya berhubung resiko anemia aplastis fatal, dewasa ini hanya dianjurkan pada beberapa jenis infeksi bila tidak ada kemungkinan lain, yaitu infeksi tifus dan mkeningitis. Penggunaan topikal kloramfenikol digunakan sebagai salep 3% dan tetes/salep mata 0,25-1% sebagai pilihan kedua, jika fusidat dan tetrasiklin tidak efektif.

Efek samping umum berupa gangguan lambung-usus, neurpati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Pada kehamilan dan laktasi tidak dianjurkan, khususnya selama minggu-minggu terakhir dari kehamilan, karena dapat menimbulkan cyanosis dan hipotermia pada neonati akibat ketidakmampuan untuk menkonjugasi dan mengekskresikan obat ini, sehingga sangat meningkatkan kadarnya dalam darah. Berhubungan kemampuannya dapat melintasi placenta dan mencapai air susu ibu, maka tidak boleh diberikan selama laktasi. Larangan tersebut berlaku bagi tiamfenikol.

2. Vankomisin

Antibiotikum gliokopeptida ini dihasilkan oleh sterptomycses orientalis (1995). Berkhasiat bakterisid terhadap kuman gram positif aerob dan anaerob, termasuk stafilokokusyang resistensi terhadap metisilin (MRSA).daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan peptidoglikan. Obat ini juga digunakan bila terdapat alergi untuk penisilin dan sefalosforin.

Efek sampinya berupa gangguan fungi ginjal, terutama pada penggunaan lama dengan dosis tinggi, juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual dan demam. Kombinasinya dengan aminoglikosida meningkatkan resiko nefro dan otoksisitas. Kehamilan dan laktasi tidak terdapat cukup data untuk penggunaan selama kehamilan. Vankomisin mencapai air susu ibu.